1. Tahap Teologis
Merupakan
tahap paling awal dalam perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia
berpikir bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa yang disebabkan oleh suatu
kekuatan yang berada di atas manusia. Tahap ini dijumpai pada manusia purba, di
mana alam semesta dimengerti sebagai keseluruhan yang integral dan terdiri dari
makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan
mereka. Keseluruhan alam semesta ini dihayati sebagai sesuatu yang hidup,
berjiwa, berkemauan, dan bertindak sendiri. Di sini, manusia percaya kepada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian
tersirat adanya maksud tertentu.
Intinya
pada tahap Teologis ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah
segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terakhir segala sesuatu,
kepada sebab pertama, dan tujuan terakhir segala sesuatu. Menurut Comte pada
tahap ini, manusia berkeyakinan bahwa setiap benda-benda merupakan ungkapan
dari supernaturalisme.
Tahap ini bisa disebut sebagai tahap kekanak-kanakan
dimana manusia tidak mempunyai daya kritis sama sekali.
Ada
beberapa cara berpikir dalam tahap ini:
a. Fetiyisme dan Animisme
Manusia
purba tidak mengenal konsep abstrak; benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk
konsep umum, tetapi sebagai sesuatu yang individual. Manusia mempercayai adanya
kekuatan magis di benda-benda tertentu, yang mempunyai jiwa dan rohnya
sendiri.
b. Politeisme
Adalah
pemikiran yang lebih maju, yang sudah mulai mengelompokkan semua benda dan
kejadian ke dalam konsep yang lebi umum berdasarkan kesamaan di antara mereka. Dalam
tahap ini manusia tidak lagi berpikir tiap-tiap benda yang mempunyai roh, tapi
tiap jenis atau kelas benda. Misalnya dalam cara berpikir animisme diyakini bahwa tiap
sawah dan ladang dihuni oleh roh-roh leluhur penduduk desa, maka dalam cara
berpikir politeisme
diyakini bahwa Dewi Sri yang menghuni dan memelihara semua sawah dan ladang di
desa manapun.
c. Monoteisme
Tahap
tertinggi di mana manusia menyatukan roh (dewa) dari benda-benda, dan hanya
mengakui satu Roh yang mengatur dan menguasai bumi dan langit. Semua benda dan
kejadian, termasuk manusia, berasal dan berakhir dari kekuatan Roh itu, yaitu
Tuhan.
Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang
membawa pengaruh yang besar pada kehidupan manusia, karena dijadikan suatu
pedoman hidup masyarakat dan landasan institusional dan alat jastifikasi suatu
negara.
2. Tahap Metafisik
Tahap
ini berlangsung dari 1300 sampai dengan 1800. Terjemahan metafisis dari
monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis
dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala. Pada
prinsipinya hanya merupakan pengembangan dari tahap teologis. Perbedaan kedua
cara berpikir tersebut adalah pada tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan
bukti-bukti logis yang meyakinkannya tentang sesuatu dengan konsep-konsep
abstrak dan metafisik. Manusia seringkali percaya bahwa Tuhan adalah makhluk
abstrak, dan bahwa kekuatan atau kekuasaan abstrak itu menunjukkan dan
menentukan setiap kejadian di dunia.
3. Tahap Positifistik
Disebut
juga tahap ilmu pengetahuan, karena dalam tahap ini manusia sudah mampu
berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini gejala dan kejadian alam tidak lagi
dijelaskan secara a priori,
melainkan berdasarkan observasi, percobaan, dan perbandingan yang terbukti dan
dapat dipertanggungjawabkan. Hukum-hukum yang ditemukan dengan cara demikian
bersifat praktis dan bermanfaat, karena dengan mengetahui dan menguasai
hukum-hukum tersebut kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala atau kejadian
tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan di masa depan yang lebih
baik. Menurut Comte, positivisme adalah cara intelektual memandang dunia yang
merupakan perilaku tertinggi dan paling berkembang dalam kehidupan manusia.
Tujuan
tertinggi dari tahap positif adalah menyusun dan mengatur segala gejala di
bawah satu fakta yang umum. Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya
berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi
di bidang ilmu pengetahuan. Comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan
semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan
dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif.
Bagaimanapun
Comte sadar bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus
sekalipun tidak merupakan jalan lurus. Tiga tahap berpikir tersebut mungkin
hidup berdampingan dalam masyarakat yang sama walau mungkin tidak selalu
berurutan. Misalnya, ketika seorang masih berpikir secara metafisik atau
teologis, berarti ia masih berpikiran primitif walaupun hidup di zaman modern.
Perkembangan intelektual (berpikir) berlaku bagi manusia, baik sebagai kelompok
masyarakat, maupun sebagai indvidu.
Mitha Faliani Agustina
20160701016
https://tempussomnium.wordpress.com/2016/05/24/hakekat-manusia-berdasarkan-auguste-comte/
https://julezcampuslife.wordpress.com/2016/05/25/peradaban-manusia-menurut-auguste-comte/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar