Rabu, 28 Juni 2017

HAKEKAT MANUSIA MENURUT NICCOLÒ MACHIAVELLI

Niccolò Machiavelli lahir di FlorenceItalia3 Mei 1469 – meninggal di FlorenceItalia21 Juni 1527 pada umur 58 tahun) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans. Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Penguasa), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik pada masa itu.
Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis.
Tujuan niccolo maciavelli ialah untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik demi kebesaran dan kehormatan negara italia, agar menjadi seperti masa keemasan romawi. Untuk itu diperlukan kekuatan dan kekuasaan yang dapat mempersatukan daerah-daerah sebagai negara tunggal. Oleh karena itu, tujuan negara lain dengan masa lampau. Tujuan negara masa lampau menurut pendapatnya : kesempurnaan, kemuliaan abadi, untuk kepentingan perseorangan berupa penyempurnaan dari manusia. Sedangkan tujuan negara sekarang menghimpun dan mendapatkan kekuasaan yang sebesar-besarnya.
Machiavelli merupakan seorang ilmuwan politik Renaisans, beliau mewarisi pemikiran dari Ayahnya Bernado Machiavelli yakni pentingnya ilmu-ilmu kemanusiaan. Di zamannya ilmu-ilmu kemanusiaan syarat penting yang harus dimiliki seseorang calon pemimpin Negara. Banyaknya peristiwa yang terlah terjadi, yang terlihat oleh Machiavelli pada akhirnya menyebabkan dasar pemikiran realisme yang dikembangkan oleh Machiavelli dalam teori-teorinya mengenai negar, kekuasaan dan perang antar Negara. Karier Machiavelli sebagai politikus dan diplomat berakhir ketika beliau diberhentikan dari jabatannya oleh penguasa Italia, meskipun secara pribadi beliau masih berkeininginan berkecimpung dalam dunia politik kenegaraan.
Karya-karya Machiavelli tidak hanya di bidang politik, tetapi juga sejarah, yaitu; 
History of Florence, Discourse on the First Decade of Titus Livius, a Life of Castruccio Castrancani, dan History of the Affair of Lucca. Di bidang kesusasteraan, dia pernah menulis suatu tiruan dari the Golden Ass of Apuleius, the play Mandragola, serta Seven Books on the Art of War. Tentu saja di antara karya-karyanya yang paling banyak dikenal adalah The Prince (1932). Isu utama dalam buku ini adalah bahwa semua tujuan dapat diusahakan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir yang dapat dibenarkan. Dan seburuk-buruknya tindakan pengkhianatan adalah penguasa yang dijustifikasi oleh kejahatan dari yang diperintah. The Prince dinyatakan terlarang oleh Paus Clement VIII.
Selengkapnya karya-karya Machiavelli dalam bahasa Italia meliputi;
Discorso sopra le cose di Pisa (1499), Del modo di trattare i popoli della Valdichiana ribellati (1502), Del modo tenuto dal duca Valentino nell’ ammazzare Vitellozo Vitelli, Oliverotto da Fermo (1502), Discorso sopra la provisione del danaro (1502), Decennale primo (1506 poema in terza rima), Ritratti delle cose dell’Alemagna (1508-1512), Decennale secondo (1509), Ritratti delle cose di Francia (1510), Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (1512-1517), Il Principle (1513), Andria (1517), Mandragola (1518), Della lingua (1514), Clizia (1525), Belfagor arcidiavolo (1515), asino d’oro (1517), Dell’arte della guerra (1519-1520), Discorso sopra il riformare lo stato di Firenze (1520), Sommario delle cose della citta di Lucca (1520), Vita di castruccio Castracani da Lucca (1520), Istorie fiorentine (1520-1525), dan Frammenti storici (1525).
Karya-karya Machiavelli, mengakibatkan banyak pihak yang menempatkannya sebagai salah satu pemikir brilian pada masa renaissance, sekaligus figur yang sedikit tragis. Pemikiran Machiavelli berkembang luas pada abad ke-16 dan ke-17 sehingga namanya selalu diasosiasikan penuh liku-liku, kejam, serta dipenuhi keinginan rasional yang destruktif. Tidak ada pemikir yang selalu disalahpahami daripada Machiavelli. Kesalahpahaman tersebut terutama bersumber pada karyanya yang berjudul The Prince yang memberikan metode untuk mendapatkan dan mengamankan kekuasaan politik. Selain itu, juga terdapat karya lain yang banyak menjadi Referensi yaitu Discourses on the Ten Books of Titus Livy.
Terdapat tiga pandangan berbeda terhadap Machiavelli :
 dilihat dari karya-karyanya. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Machiavelli adalah pengajar kejahatan atau paling tidak mengajarkan immoralism dan amoralism. Pandangan ini dikemukakan oleh Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan.
Pandangan kedua, merupakan aliran yang lebih moderat dipelopori oleh Benedetto Croce (1925) yang melihat Machiavelli sekadar seorang realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya etika dalam politik. Padangan ketiga yang dipelopori oleh Ernst Cassirer (1946), yang memahami pemikiran Machiavelli sebagai sesuatu yang ilmiah dan cara berpikir seorang scientist. Dapat disebutkan sebagai “Galileo of politics” dalam membedakan antara fakta politik dan nilai moral (between the facts of political life and the values of moral judgment).
Inovasi Machiavelli dalam buku Discourses on Livy dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolakbelakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.
Adalah Machiavelli yang pertama kali mendiskusikan fenomena sosial politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Inilah pendekatan pertama yang bersifat murni scientific terhadap politik. Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik. Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan adalah perhitungan. Seorang politikus mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi.
Machiavelli mengakui bahwa hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu tatatan sistem politik yang baik. Namun karena paksaan dapat menciptakan legalitas, maka dia menitikberatkan perhatian pada paksaan. Karena tidak akan ada hukum yang baik tanpa senjata yang baik, maka Machiavelli hanya akan membicarakan masalah senjata. Dengan kata lain, hukum secara keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas merupakan hal yang tidak mungkin jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa. Oleh karena itu, Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas. Seseorang akan patuh hanya karena takut terhadap suatu konsekuensi, baik kehilangan kehidupan atau kepemilikan. Argumentasi Machiavelli dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa politik secara keseluruhan dapat didefinisikan sebagai supremasi kekuasaan memaksa. Otoritas adalah suatu hak untuk memerintah.
Dalam the Prince digambarkan cara-cara agar seorang individu dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan negara. Situasi sosial dan politik dalam buku tersebut dilukiskan dalam kondisi yang sangat tidak dapat diprediksi dan mudah berubah. Hanya orang hebat dengan pikiran penuh perhitungan yang dapat menaklukkan kondisi sosial politik tersebut. Penolakan Machiavelli terhadap penghakiman etis dalam politik mengakibatkan pemikirannya disebut sebagai pemikiran renaisance yang anti-Christ.
The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang “buku petunjuk untuk para diktator.” Karier Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. 
Dalam bab 17 buku The Prince , Machiavelli memperbincangkan apakah seorang Pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai.
Tulis Machiavelli: “… Jawabnya ialah orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi … lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi … takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset …”
Bab 18 yang berjudul “Cara bagaimana seorang Pangeran memegang kepercayaannya.” Di sini Machiavelli berkata “… seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dengan kepentingannya …” Dia menambahkan, “Karena tidak ada dasar resmi yang menyalahkan seorang Pangeran yang minta maaf karena dia tidak memenuhi janjinya,” karena “… manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu selalu akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu.” Sebagai hasil wajar dari pandangan itu, Machiavelli menasihatkan sang Pangeran supaya senantiasa waspada terhadap janji-janji orang  lain.
Machiavelli berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap tinggi, adalah berhubungan dengan kehidupan dunia, dan ini dipersempit pula hingga kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka. Machiavelli menolak adanya hukum alam, yang seperti telah diketahui adalah hukum yang berlaku untuk manusia sejagat dan sesuai dengan sifat hukum,                        mengikat        serta   menguasai      manusia.

Machiavelli mengatakan bahwa untuk suksesnya seseorang, kalau memang diperlukan, maka gejala seperti penipuan dibenarkan. Misalnya, ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh sebab kepatuhan ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah agama tadi. Jadi agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu.
Untuk memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan.
Analogi penguasa ideal yang menarik dari pemikir asal Florence ini adalah Singa dan kancil. Singa adalah simbol kebuasan dan kekejaman untuk mempertahankan kekuasaan. Sedangkan kancil adalah simbol keramahan dan kemurahan hati untuk menarik simpati. Penguasa diharuskan untuk pintar menempatkan posisinya kapan dia harus menjadi singa dan kapan dia harus menjadi seekor kancil. Penguasa harus bisa mencegah ancaman, baik internal maupun eksternal yang akan merusak kesatuan dan keutuhan negara sekalipun dengan cara-cara yang kejam seperti pembunuhan, pembantaian dan lain-lain. Akan tetapi, di saat aman, penguasa juga tidak boleh lupa untuk menarik simpati rakyatnya sebagai sumber legitimasi baginya dengan berbaik hati dan memenuhi keinginan-keinginan rakytanya. Dengan demikian, maka suatu negara itu akan utuh dan solid. Masalah keamanan nasional, Machiavelli juga berpendapat bahwa kekuatan nasional tidak boleh digantungkan kepada kekuatan pihak lain.
Pemikiran Machiavelli di atas memberikan suatu pandangan baru tentang cara hidup berpolitik yang sebelumnya hanyalah dikuasai oleh pandangan-pandangan yang mengaitkan etika dengan politik, agama dengan politik. Hal ini dikarenakan pemikiran Machiavelli berdasarkan pada analisa historis dan praktis, sesuai dengan kenyataan yang ia alami dan amati. Karena kedekatannya dengan alam nyata (real world) tentang politik dan manusia, pemikirannya banyak dianut oleh pemimpin-pemimpin besar dunia seperti Mussolini, Napoleon Bonaparte, Stalin, Lenin, Hitler. Resep yang praktis dan tidak terlalu teoritis dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan adalah hal yang mudah untuk diimplementasikan. Inilah yang menjadi keunggulan dari pemikiran seorang Machiavelli.

Selain itu, menurut penulis, pemikiran Machiavelli tidak memiliki contoh implementasi murni. Pemikiran Machiavelli tentang kekuasaan yang tertuang dalam bukunya The Prince tidak pernah dipraktekkan semasa hidupnya karena buku tersebut adalah hasil refleksi kehidupan Machiavelli mulai awal sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu, penulis tidak yakin apakah definisi mempertahankan kekuasaan menurut Machiavelli telah dipahami betul oleh penganut pemikirannya seperti pemimpin-pemimpin otoriter yang telah disebutkan di atas. Penulis berpendapat bahwa Machiavelli saat itu hanyalah ingin menyatukan bangsa dan negara Italia menjadi satukesatuan, bukan melakukan pembantaian seperti yang telah dilakukan Hitler terhadap kaum Yahudi, Saddam Husein terhadap suku Kurdi dan lain-lain. Bahkan di Indonesia, pemikiran Machiavelli dianut sampai pada ranah kekuasaan di dalam institusi pemerintahan, sosial dan pendidikan seperti lurah, camat, walikota, kepala sekolah, ketua DPRD Tingkat II dan seterusnya untuk meraup keuntungan dan kepentingan pribadi. Fenomena ini menunjukkan bahwa cara berkuasa a la Machivelli dianggap sebagai dalil utama yang mendorong mereka untuk berbuat semena-mena dalam menjalankan kekuasaan tanpa tahu apa dasar dan kronologi terbentuknya pemikiran Machiavelli. Lebih lanjut lagi, tidak ada yang memastikan apakah semua yang terjadi itu adalah yang memang dimaksudkan oleh Machiavelli      sendiri.


Mitha Faliani Agustina

20160701016


Kamis, 15 Juni 2017

Jean Paul Sartre, filsafat eksistensialisme?



Greetings!
siapakah Jean-Paul Sartre?

Ya. beliau lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun, adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Artinya, manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu dan esensinya itu akan muncul ketika manusia mati. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? Bagaimanakah manusia yang bebas itu? Sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Dalam studi sekolahan filsafat, eksistensialisme paling dikenal melalui kehadiran Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free" atau manusia dikutuk untuk bebas. Artinya, dengan adanya kebebasan maka manusia itu dapat bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang beda-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada di luar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya pada masa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.


Kaum eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji, baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre

Mitha Faliani Agustina
20160701016

Selasa, 30 Mei 2017

Hakekat Manusia menurut Auguste Comte


1. Tahap Teologis
Merupakan tahap paling awal dalam perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia berpikir bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa yang disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. Tahap ini dijumpai pada manusia purba, di mana alam semesta dimengerti sebagai keseluruhan yang integral dan terdiri dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka. Keseluruhan alam semesta ini dihayati sebagai sesuatu yang hidup, berjiwa, berkemauan, dan bertindak sendiri. Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
Intinya pada tahap Teologis ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terakhir segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terakhir segala sesuatu. Menurut Comte pada tahap ini, manusia berkeyakinan bahwa setiap benda-benda merupakan ungkapan dari supernaturalisme. 

Tahap ini bisa disebut sebagai tahap kekanak-kanakan dimana manusia tidak mempunyai daya kritis sama sekali.

Ada beberapa cara berpikir dalam tahap ini:
a. Fetiyisme dan Animisme
Manusia purba tidak mengenal konsep abstrak; benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk konsep umum, tetapi sebagai sesuatu yang individual. Manusia mempercayai adanya kekuatan magis di benda-benda tertentu,  yang mempunyai jiwa dan rohnya sendiri.
b. Politeisme
Adalah pemikiran yang lebih maju, yang sudah mulai mengelompokkan semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebi umum berdasarkan kesamaan di antara mereka. Dalam tahap ini manusia tidak lagi berpikir tiap-tiap benda yang mempunyai roh, tapi tiap jenis atau kelas benda. Misalnya dalam cara berpikir animisme diyakini bahwa tiap sawah dan ladang dihuni oleh roh-roh leluhur penduduk desa, maka dalam cara berpikir politeisme diyakini bahwa Dewi Sri yang menghuni dan memelihara semua sawah dan ladang di desa manapun.
c. Monoteisme
Tahap tertinggi di mana manusia menyatukan roh (dewa) dari benda-benda, dan hanya mengakui satu Roh yang mengatur dan menguasai bumi dan langit. Semua benda dan kejadian, termasuk manusia, berasal dan berakhir dari kekuatan Roh itu, yaitu Tuhan.
Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang membawa pengaruh yang besar pada kehidupan manusia, karena dijadikan suatu pedoman hidup masyarakat dan landasan institusional dan alat jastifikasi suatu negara.


2. Tahap Metafisik
Tahap ini berlangsung dari 1300 sampai dengan 1800. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala. Pada prinsipinya hanya merupakan pengembangan dari tahap teologis. Perbedaan kedua cara berpikir tersebut adalah pada tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan bukti-bukti logis yang meyakinkannya tentang sesuatu dengan konsep-konsep abstrak dan metafisik. Manusia seringkali percaya bahwa Tuhan adalah makhluk abstrak, dan bahwa kekuatan atau kekuasaan abstrak itu menunjukkan dan menentukan setiap kejadian di dunia.

3. Tahap Positifistik
Disebut juga tahap ilmu pengetahuan, karena dalam tahap ini manusia sudah mampu berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan observasi, percobaan, dan perbandingan yang terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Hukum-hukum yang ditemukan dengan cara demikian bersifat praktis dan bermanfaat, karena dengan mengetahui dan menguasai hukum-hukum tersebut kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala atau kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan di masa depan yang lebih baik. Menurut Comte, positivisme adalah cara intelektual memandang dunia yang merupakan perilaku tertinggi dan paling berkembang dalam kehidupan manusia.

Tujuan tertinggi dari tahap positif adalah menyusun dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum. Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif.
Bagaimanapun Comte sadar bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus sekalipun tidak merupakan jalan lurus. Tiga tahap berpikir tersebut mungkin hidup berdampingan dalam masyarakat yang sama walau mungkin tidak selalu berurutan. Misalnya, ketika seorang masih berpikir secara metafisik atau teologis, berarti ia masih berpikiran primitif walaupun hidup di zaman modern. Perkembangan intelektual (berpikir) berlaku bagi manusia, baik sebagai kelompok masyarakat, maupun sebagai indvidu.

Mitha Faliani Agustina
20160701016

sumber :
https://tempussomnium.wordpress.com/2016/05/24/hakekat-manusia-berdasarkan-auguste-comte/
https://julezcampuslife.wordpress.com/2016/05/25/peradaban-manusia-menurut-auguste-comte/


Selasa, 16 Mei 2017

Siapa itu Nietzsche?





Friedrich Wilhelm Nietzsche ,
Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme modern yang ateistis. (lahir di Saxony, Prussia, 15 Oktober 1844 – meninggal di Weimar, 25 Agustus 1900pada umur 55 tahun) adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer. Dia menulis beberapa teks kritis terhadap agama, moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan kesukaan untuk metafora, ironi, dan pepatah.
Konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru. 

Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup proses transendensi insting-insting alamiah manusia dan cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism) Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality) dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such)


Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. 

Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.”

Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa. Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan alam semesta pada umumnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual manusia.

Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.

Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).
Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia adalah efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.

Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau substansi. Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia seutuhnya.
 
Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and representation). Walaupun begitu kita tetap harus membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya. Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir inilah yang disarankan oleh Nietzsche.

Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. 
Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan konsep kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan. Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.


Mitha Faliani Agustina
20160701016

sumber :
https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/
https://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche